-
Medan Sunggal is one of the 21 districts in the city of Medan, North Sumatra, Indonesia. The district of Medan Sunggal is bordered with Deli Serdang at
775 bytes (90 words) - 17:43, 28 August 2017 -
song for the track "Blind", which releasing on Korean and Japanese version sung by Yesung, but he didn't participate during the promotions. Super Junior-K27 KB (2,826 words) - 11:12, 11 November 2017
-
Sung may refer to: Sung, Cambodia, commune in Samlout District, Battambang Province Singing (past tense of the verb "to sing") Song (state) (宋) (11th695 bytes (87 words) - 00:16, 7 December 2016
- James Soong (redirect from James Sung)James Soong Chu-yu (Chinese: 宋楚瑜; pinyin: Sòng Chǔyú; Wade–Giles: Sung Ch'u-yü; born 16 March 1942) is a Taiwanese politician. He founded and chairs the28 KB (3,538 words) - 14:00, 9 November 2017
-
Sung Hoon (born Bang In-Kyu on February 14, 1983) is a South Korean actor. Sung Hoon was a member of the national swim team and specialised in butterfly12 KB (1,042 words) - 14:03, 8 November 2017
-
Ji Sung (born Kwak Tae-geun on February 27, 1977) is a South Korean actor. He is best known for his roles in the television dramas All In (2003), Save30 KB (2,286 words) - 22:40, 27 October 2017
-
Lee Sung-kyung (born August 10, 1990) is a South Korean model and actress. She acted in the television dramas Cheese in the Trap (2016) and Doctor Crush13 KB (696 words) - 05:43, 11 November 2017
- Song dynasty (redirect from Sung Dynasty)pp. 30–31. Sivin 1995, pp. 30–31, footnote 27. Gernet 1962, p. 170. Sung 1981, pp. 12, 72. Cai 2011, pp. 81-82. Bai 2002, pp. 239. Bai 2002, pp107 KB (12,114 words) - 22:10, 9 November 2017
- Kim Hye-seong (redirect from Kim Hye-sung)Kim Hye-seong (Hangul: 김혜성; also spelt Kim Hye-sung; born January 14, 1988) is a South Korean actor and model. On March 2012 Kim Hye-seong enlist for3 KB (88 words) - 09:44, 12 October 2017
- Wanna One (redirect from Ong Sung-woo)Ong Seong-wu, Park Woo-jin, Lai Kuan-lin, Yoon Ji-sung, Hwang Min-hyun, Bae Jin-young and Ha Sung-woon. The group debuted on August 7, 2017 and will14 KB (1,050 words) - 23:12, 13 November 2017
- Yoshihiro Akiyama (redirect from Chu Sung-Hoon)Akiyama (秋山 成勲, Akiyama Yoshihiro)(born July 29, 1975), also known as Choo Sung-hoon (Hangul: 추성훈, Hanja: 秋成勳) is a Japanese mixed martial artist and judoka30 KB (2,571 words) - 11:41, 19 September 2017
-
Jo In-sung (Hangul: 조인성; born July 28, 1981) is a South Korean actor. He is best known for his leading roles in the television series What Happened in22 KB (1,372 words) - 01:21, 11 November 2017
- Jang Song-thaek (redirect from Chang Sung-taek)Jang Song-thaek (Korean: [tɕaŋ sʰʌŋtʰɛk]; also romanized as Jang Sung-taek, Chang Sŏng-t'aek and other variations; January or February 1946 – 12 December51 KB (5,870 words) - 16:45, 22 October 2017
-
young Sung Soo-ji High school senior. Sung Hae-sung's younger half-sister. Unknown as Sung Gong-joo (4-years-old) Sung Hae-sung's niece. Sung Hae-chul's16 KB (755 words) - 15:04, 12 November 2017
-
Sung Kang (Korean name: Kang Sung-Ho; Hangul: 강성호; born April 8, 1972) is an American actor, known for his role as Han Lue in The Fast and the Furious11 KB (583 words) - 02:13, 14 November 2017
-
Sung Joon (born Bang Sung-joon on July 10, 1990) is a South Korean actor and model. He began his entertainment career as a model, but after switching8 KB (376 words) - 09:23, 12 November 2017
- Emperor Qinzong (redirect from Sung ch'in tsung)Emperor Qinzong of Song (23 May 1100 – 14 June 1161), personal name Zhao Huan, was the ninth emperor of the Song dynasty in China and the last emperor7 KB (695 words) - 07:29, 4 August 2017
-
Ko Sung-hee on Facebook (in Korean) Ko Sung-hee at Saram Entertainment (in Korean) Ko Sung-hee at HanCinema Ko Sung-hee on IMDb Ko Sung-hee at the4 KB (147 words) - 17:23, 9 November 2017
-
Kang Dae-sung (Hangul: 강대성; born April 26, 1989), better known by his stage name Daesung, or his Japanese stage name D-Lite, is a South Korean singer,34 KB (3,256 words) - 00:49, 25 October 2017
- Emperor Huizong of Song (redirect from Sung hui-tsung)Emperor Huizong of Song (7 June 1082 – 4 June 1135), personal name Zhao Ji, was the eighth emperor of the Song dynasty in China. He was also a very well-known15 KB (1,709 words) - 04:58, 28 October 2017
Monday, 13 November 2017
Medan Sunggal
Kerajaan Sunggal Serbanyaman
Kerajaan Sunggal Serbanyaman yang didirikan oleh keluarga besar Puak Sunggal diawali dengan tokoh Jolol Karo-Karo Surbakti yang mempunyai anak bernama Sirukati Surbakti.
Sirukati Surbakti mempunyai dua orang anak, yakni Kebal Surbakti dan Sirsir/Serser Surbakti. Sirsir/Serser Surbakti mempunyai saudara empat orang, salah satunya bernama Kebal Surbakti yang berasal dari Pak Pak (Dairi). Keduanya melakukan perjalanan dari daerah Pak Pak/Dairi turun gunung ke daerah Tanah Karo dan Gayo Alas. Kebal Surbakti kemudian membuat perkampungan di Lingga dan Sirsir mengembara sampai ke Tanah Alas di Lingga Raja, terus ke Torong dan membuat perkampungan di sana. Sirsir kemudian menikah dengan seorang Putri yang dipercayai sebagai penjelmaan dari seekor gajah maka anaknya kemudian dinamai Gadjah Surbakti.
Gadjah Surbakti kemudian membuat kampung di Sitelu Kuru dan dinamakan Kampung Gadjah. Dengan demikian, tidak heran apabila terjadi hubungan yang erat antara masyarakat di Sitelu Kuru, Penghulu Gadjah, Penghulu Lingga, dan marga Surbakti. Gadjah Surbakti mempunyai tiga orang anak, yakni Ator Surbakti, Nangmelias Br Surbakti, dan Adir Surbakti.
Adir Surbakti kemudian mendirikan kampung di Sembuaikan di kaki Gunung Sibayak dan menamakan Songgal. Atas pengaruh Datuk Kota Bangun, ia kemudian memeluk Agama Islam tahun 1632. Adir mempunyai anak sepuluh orang anak, yaitu sembilan laki-laki dan seorang wanita bernama Nang Baluan. Di antara anak laki-lakinya bernama Mahbub dan Borang. Adir adalah pendiri Kerajaan Sunggal yang ketika itu kekuasaanya cukup kuat meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan sebagai akses untuk dapat memengaruhi Raja Raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya itu kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan yang dinamakan Konfederasi Deli. Deli menjadi Anak Beru Sunggal dan Sunggal berperan sebagai Ulon Janji.
Di antara anak laki-laki Adir adalah Mahbub Surbakti yang menggantikannya sebagai raja. Pusat kekuasaan Kerajaan Sunggal dipindahkan ke Kinangkung. Ia mempunyai dua orang anak, yakni Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti. Mahbub Surbakti memerintah dari tahun 1651-1667 yang kemudian digantikan oleh anaknya Bubud Surbakti. Bubud Surbakti memerintah Sunggal dari tahun 1667 sampai 1792. Ia memindahkan pusat kekuasaannya di Tanjung Selamat. Bubud Surbakti mempunyai dua orang anak yaitu Andan/Undan Surbakti dan Nang/Dayan Sermaini Br. Surbakti. Nang Sermaini menikah dengan Panglima Magedar Alam dari Deli. Pada 1723 terjadi perebutan takhta di Kesultanan Deli, setelah Panglima Paderap meninggal dunia. Seorang putranya bernama Umar terusir dari Deli dan kemudian menemui Raja Sunggal yang merupakan Kalimbubu untuk melaporkan situasi di Deli. Raja Sunggal kemudian memanggil Raja Urung Sinembah, Tanjung Morawa, dan Utusan Aceh. Dari musyawarah itu ditetapkan bahwa Umar menjadi Raja Serdang dengan Gelar Tuanku Umar. Oleh karena itu, baik bangsawan Deli maupun Serdang adalah anak cucu Raja Urung Sunggal Marga Surbakti.
Andan/Undan Surbakti menggantikan ayahnya Bubud Surbakti yang memerintah antara tahun 1792 – 1891, dan memindahkan pemerintahannya ke Tanjung Selamat. Ia mempunyai enam orang anak laki-laki, yaitu Datuk Amar laut, Datuk Jalaluddin, Datuk Keteng, Datuk Kojat, Datuk Bajing, Datuk Nahu, dan dua orang perempuan, yaitu Aja Manyak dan Aja Gadih.
Datuk Amar Laut Surbakti adalah penerus takhta Sunggal yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Jejabi. Ia memerintah dari tahun 1821-1845, mempunyai empat orang anak, 3 laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, Datuk Abdul Jalil Surbakti, dan Datuk Muhammad Dini Surbakti. Datuk Abdul Jalil mempunyai sembilan orang anak, yaitu Datuk Sulung Barat, Datuk Riaw, Datuk Lintang Siak, Datuk Lingga, Datuk Segel, Datuk Long Putra, Aja Dembam, Aja Noor, Aja Intan Lara. Datuk Abdullah Ahmad mempunyai delapan orang anak. Datuk Mohammad Dini gelar Datuk Kecil mempunyai anak Olong Hasym, Datuk Ali Syafar, Datuk Ali Usman (Datuk Torong), Aja Iting. Pada masa pemerintahannya, Sunggal melepaskan semua ikatan yang pernah dibuat dengan Deli dan Aceh. Sunggal mempunyai bendera sendiri, yaitu merah dan kuning, dengan cap berlambang gajah. Datuk Amar Laut meresmikan Sunggal merdeka. Pada masa ini Panglima Magedar Alam berusaha menaklukkan Sunggal tetapi gagal.
Datuk Abdullah Ahmad Surbakti naik takhta pada 1845 – 1857 menggantikan ayahnya dan memindahkan pusat pemerintahan ke Sunggal yang letaknya sekarang adalah di sekitar Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal,Medan . Ia diberi gelar Datuk Indera Pahlawan. Beliau mempunyai delapan orang anak, 6 laki-laki dan 2 perempuan, yakni Datuk Mohd. Mahir, Datuk Mohd. Lazim, Datuk Mohd. Darus, Datuk Badiuzzaman, Datuk Mohd. Alang Bahar, Datuk Mohd. Alif, Aja Amah/Olong, dan Aja Ngah Haji. Pada masa pemerintahan Datuk Mohammad Bahar Sunggal diresmikan dengan nama lain, yaitu Serbanyaman. Ikatan dengan Deli dan Aceh dibangun kembali, termasuk institut Ulon Janji. Datuk Mohd. Lazim mempunyai anak delapan orang, yaitu Aja Itam (Olong), Aja Cermin, Datuk Mohd. Gazali, Aja Tipah, Datuk H. Mustafa, Aja Totop, Aja Ramsiah, Aja Nambok. Datuk Mohamad Mahir mempunyai empat orang anak, yaitu Aja Sukma, Aja Saerah, Datuk Man, dan Datuk Yusuf. Ketika Datuk Akhmad meninggal dunia pada 1857, Datuk Badiuzzazman masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku Kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzazman dewasa. Datuk Kecil memimpin Sunggal sampai tahun 1866. Datuk Badiuzzazman Surbakti diangkat menjadi raja Sunggal/Serbanyaman tahun 1866 dengan Gelar Datuk Sri Diraja Indra Pahlawan sampai tahun 1895.
Silsilah Keturunan Datuk Chairil Anwar Surbakti
Datuk Chairil Anwar Surbakti adalah seorang bumi putera yang berasal dari keturunan suku Karo-Melayu, suku di Sumatera Utara. Berikut ini silsilah keturunan dari awal hingga kiniSi Jolol Karo Karo
Anak termuda dari Raja Pak Pak (Dairi) kampong Lingga Raja, bersaudara beberapa orang, satu orang puteri. Ketika ayahnya sakit keras singgahlah di kampong Lingga Raja seperangkatan dukun (7 orang dukun) “Guru Pakpak Pitu Sidalanen” yang bernama “ercikenken tungkatna malekat”, dan “erpustakaken pustaka najati”. Setelah mendiagnosa penyakit yang diderita raja tersebut maka diberitahukanlah kepada kemberahen (permaisuri) raja, bahwa raja dapat sembuh bila dibuat “perselihi raja” yakni dengan membuangkan harta yang paling disayangi raja bersama kemberahennya. Ternyata perselihi yang dimaksud adalah salah seorang puteranya. Maka diadakanlah pekerjaan “perselihi” dengan memotong kerbau, dan terungkap bahwasanya putera yang paling disayang oleh raja dan kemberahen adalah putera bungsunya (Si Jolol Karo Karo), dengan memberi makan diatas daun ujung pisang yang sudah dibubuhi makan-makanan buat perselihi, yakni pisang, bunga-bunga, cimpa mbun-bunen (sebangsa kue) dan lain-lain. Sebelum meninggalkan kampong halaman, raja memberi petuah kepada anaknya “ Pergilah engkau dengan selamat, dan bawalah olehmu segenggam tanah dari sini dan air setabu, apabila engkau hendak memilih tempat tinggal, hendaklah tanah dan air disitu engkau bawa, semoga Allah akan memberkatimu, sampai keturunanmu nanti sebagai bintang di langit banyaknya”. Maka berjalanlah anak tersebut dan mengambil arah “cabal tekang” (dari Selatan ke Utara). Setelah 4 hari lamanya penyakit raja berangsur sembuh kemudian ia membisikkan kepada anaknnya yang tertua untuk menyusul adiknya. Kemudian dengan berkuda anak tertua tersebut menyusul adiknya setelah beberapa waktu lamanya, dia menemukan adiknya disuatu tempat setelah menyusruh kudanya untuk berteriak sekuat-kuatnya. Setelah pertemuan itu keduanya berpencar dan mengembara, si bungsu ke Utara dan si sulung kearah Barat. Si bungsu (Si Jolol Karo Karo) sampai dilembah Uruk Gungmbelin dekat kampong Lingga sekarang. Disana dia membuat tempat (barung-barung), dan menikah. Dari perkawinan tersebut mendapat 3 orang anak lelaki (si Tembe, Si Cibu, si Serukati )dan 1 orang perempuan (si Tambarmalem). Ia bersama anaknya si Tembe dan Si Tambarmalem berdiam di kampung tersebut dan menamainya Kampung Lingga diambil menurut nama kampung asal Linggaraja. Si Cibu kembali berjalan kearah Selatan dan mengadakan tempat disuatu huta yang dinamainya Kacaribu. Si Serukati berjalan ke arah Utara dan disana mengadakan tempat barung-barungnya pada suatu hutan yang baik dan dinamainya Surbakti (kampung Surbakti sekarang).
Si Serukati/Sirukati Karo Karo Surbakti
menjadikan suku merga Surbakti . Mempunyai dua orang anak lelaki bernama Kebal Surbakti dan Sirsir/Ssser Surbakti. Si Tembe di kampung Lingga mempunyai anak (si Belin, si Kencayaingan, si Buah, si Jandi (Ulun Jandi) dan lain-lain), turunan si Kacaribu mendirikan kampung Kutagerat dan Gunung Juhar.
Sirsir/Sesser Surbakti
Bersaudara 4 orang.Salah seorang saudaranya bernama
Kebal Surbakti turun gunung membuat perkampungan
Di Lingga.Sedangkan Sirsir/Sesser Surbakti
Mengembara sampai ke Tanah Alas Gayo di Lingga
Raja,terus Ke Torong dan membuat perkampungan.
Si Gajah
Mendirikan kampung di Sitelu Kuru dan dinamakan
Kampung Gajah,maka hubungan Sunggal dengan
Si Telu Kuru ,Penghulu Gajah,Penghulu
Lingga dan Surbakti sangat erat.Mempunyai 3 orang
Anak Ator Surbakti,Nangmelias Br Surbakti dan Adir
Surbakti.
Adir Surbakti (1629 – 1651)
Mendirikan perkampungan di Sembuaikan di kaki
Gunung Sibayak memeluk agama Islam pada
Tahun 1623,di Islamkan oleh Datuk Kota Bangun
Mempunyai 10 orang anak ,9 orang laki-laki dan 1
Orang perempuan bernama Nang Baluan Br Surbakti.
Dimasa pemerintahan Adir Surbakti kerajaan Sunggal
Merupakan daerah terkuat diantara daerah bekas
Reruntuhan kerajaan Aru II di Deli Tua,yang
Dikalahkan Aceh pada tahun 1612,dimana Sultan
Iskandar Muda mengangkat Gocah Pahlawan
Sebagai wakilnya di kerajaan tersebut.
Datuk Hitam Surbakti
Saudara perempuannya Nang Baluan kawin dengan
Gocah Pahlawan pada tahun 1632 dengan
Dibuatnya kesepakatan yang dinamakan
Konfederasi Deli.Dari perkawinan ini lahir raja-raja
Deli dan Raja-raja Serdang karena Sunggal memberi-
Kan ulayat (Daerahnya) kepada Deli dan Serdang
Selaku Kalibubu kepada Anak Beru, dan mengangkat
Sultan Baru ,selaku turunan Ulon Janji.
Mahbub Surbakti (1651 – 1667)
Pengganti Adir Surbakti dengan pusat pemerintahan
Di Kinangkung mempunyai 2 orang anak laki-laki
Bernama Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti.
Bubud Surbakti (1667 – 1792)
Pengganti Mahbub Surbakti dengan pusat
Pemerintahan di Tanjung
Anak Andan/Datuk Undan Surbakti dan
Nang Sermaini Br Surbakti.Ketika Sultan Deli
Panglima Paderap mangkat pada tahun 1723 terjadilah
Perebutan tahta di kalangan puteranya,sehingga
Puteranya dari istrinya yang bernama Puan Sampali
Yang bernama Umar terusir dari Deli,kemudian Umar
Menemui Raja Sunggal yang merupakan Kalimbubu
Untuk melaporkan hal tersebut.Kemudian
Raja Sunggal memanggil Raja Urung Sinembah dan
Raja Urung Tanjung Merawa merga Saragih Dasalak
Dan utusan Aceh Kejuruan Lumu mengangkat Umar
Menjadi Raja Serdang dengan gelar Tuanku Umar.
Oleh karenanya baik bangsawan Deli dan bangsawan
Serdang adalah juga anak cucu Raja Urung Sunggal
Merga Surbakti.
Datuk Andan/Undan Surbakti (1792 – 1821)
Pengganti Bubud Surbakti dengan pusat pemerintahan
Di Tanjung Selamat,mempunyai 8 orang anak,
6 orang anak laki-laki Datuk Amar Laut Surbakti,Datuk
Datuk Jalaluddin Surbakti,Datuk Keteng Surbakti,Datuk Kojat
Surbakti,Datuk Bajing Surbakti,Datuk Surbakti dan 2 orang
Anak perempuan Aja Manyak br Surbakti dan
Aja Gadih br Surbakti. Adik perempuannya Dayan
Sermaidi kawin dengan
Panglima Mangedar Alam dari Deli..
Datuk Amar Laut Surbakti (1821 – 1845)
Pengganti Datuk Andan/Undan Surbakti dengan pusat
Pemerintahan di Jejabi,mempunyai 4 orang anak,
3 orang anak laki-laki Datuk Abdullah Ahmad
Surbakti,Datuk Abdul Jalil Surbakti,
Datuk Muhammad Dini Surbakti dan 1 orang
Anak perempuan. Pada tahun 1822 Sultan Deli
Panglima Mangedar Alam Ingin menaklukkan
Sunggal, tahun 1822 dan gagal.
Pada tahun 1823, Sunggal melepaskan semua ikatan
Yang pernah ada dengan Deli, mengeluarkan cap dan
Bendera sendiri,meresmikan Sunggal Merdeka.
Datuk Ahmad (Abdul Hamid) Surbakti, Datuk Sri Indera Pahlawan Wazir Serbanyaman Ulon Janji (1845 – 1857)
Pengganti Datuk Amar Laut Surbakti dengan pusat
Pemerintahan di Sunggal (sekarang Jl.PAM.Tirtanadi)
Mempunyai 8 orang anak, 6 orang anak laki-laki Datuk
Mohd.Mahir Sri Indera Pahlawan Surbakti,
Datuk Mohd.Lazim Sri Indera Pahlawan Surbakti
Datuk Mohd.Darus Sri Indera Pahlawan Surbakti,
Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti
Datuk Mohd.Alang Bahar Sri Indera Pahlawan
Surbakti,Datuk Mohd Alif Sri Indera Pahlawan
Surbakti dan 1 orang anak perempuan
Aja Amah/Olong Surbakti.
Pada masa ini Sunggal meresmikan namanya
yang lain Serbanyaman.
Pada masa ini Sultan Osman I kembali berhubungan
Dengan Sunggal dan Aceh,dan Instituut Ulon Janji
Kembali diaktifkan.
Datuk Ahmad mempunyai dua
Orang saudara laki laki,Datuk Jalil Surbakti kawin
Dengan puteri Selesai, mempunyai anak Sulong Barat
Sulong Putera ,seorang anak perempuan,dan Datuk
Kecil (Mahini) Surbakti kawin dengan puteri Selesai mempunyai anak 2 orang ,1 orang anak laki-laki bernama Suman dan 1 orang anak perempuan..
Atas permufakatan keluarga diangkat sebagai pemangku kerajaan Sunggal pada tahun 1857 (saat
Itu Datuk Badiuzzaman Surbakti baru berusia 12 tahun,dan diamanatkan untuk menggantikan Ayahnya Datuk Ahmad Abdul Hamid Sri Indera Pahlawan Surbakti)
Mempunyai anak ,Suman dan seorang putra lain.Memimpin kerajaan Sunggal sampai dengan tahun 1866.
Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti (1866 – 1895)
Menjadi Raja Urung Sunggal serbanyaman pada saat berumur 21 tahun,mempunyai 7 orang anak, 4 orang anak laki-laki Datuk Mohd Munai Surbakti,Datuk Mohd Inggot Surbakti,Datuk Ralit Surbakti,Datuk Kinu Surbakti dan 3 orang anak perempuan Aja Itam Buruk br Surbakti,Aja Itam Merah br Surbakti dan Aja Loyah br Surbakti.
Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti dan Datuk Muhammad Alang Bahar Sri Indera Pahlawan Surbakti,adalah dua orang pahlawan perang Sunggal (1872-1895) yang sejak tahun 1873 dengan didukung oleh rakyatnya,yaitu rakyat Serbanyaman Sunggal dan suku karo lainnya mengadakan pembakaran terhadap bangsal – bangsal tembakau maskapai Belanda Deli Maskapai,dan
De Rotterdam, karena telah merampas tanah mereka ,akibat diserahkannya tanah tersebut oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam (Deli),kepada Belanda, dengan perang grilya selama lebih dari 20 tahun yang merupakan perang yang memakan waktu paling lama di Indonesia, ini dibuktikan dengan keluarnya Besluit No.3 tanggal 20 Januari 1895 yaitu pembuangan seumur hidup atas pahlawan sunggal oleh Pemerintah Hindia Belanda yaitu Datuk Badiuzzaman Surbakti ke Cianjur dan Datuk Alang Muhammad Bahar ke Banyumas,ketika kabar ini sampai ke Sunggal maka 3 bulan rakyat Sunggal berkabung sebagai tanda hormat dan kesetiaan mereka terhadap kedua pejuang tersebut.Sampai sekarang kuburan kedua Datuk tersebut dihormati oleh penduduk Cianjur dan Banyumas, dan dikenal dengan julukan Makam Raja Deli.
Datuk Muhammad Munai Surbakti
Mempunyai 6 Orang anak laki-laki :
1.Datuk Muhammad Jalip Surbakti.
2.Datuk Muhammad Hasan Surbakti.
3.Datuk Muhammad Hitam Surbakti.
4.Datuk Muhammad Nur.
5.Datuk Muhammad Bagus.
6.Datuk Harmansyah.
Sedangkan adik Datuk Badiuzzaman Surbakti,yaitu
Datuk Alang Muhammad Alang Bahar Sri Indera Pahlawan Surbakti mempunyai
13 orang anak yaitu :
a.Dari Istri Aja Jambu mendapatkan anak : Datuk
Apuk,Datuk Armia,Aja Sakti,Aja Asbah,Aja
Patimah Syam,Aja Lio,Aja Kalsum,dan Datuk
Syahbuddin.
b.Dari Istri Encik Surat mendapatkan anak :Aja
Tepak,Datuk Hod,Aja Ramah dan
DATUK SONET MAINAN Sri Indera Pahlawan
SURBAKTI .
c.Dari istri Nyati mendapatkan anak : Aja Imah.
Datuk Muhammad Hitam Sri Indera Diraja Surbakti.
Mempunyai 5 orang anak dengan istri Aja Mili yaitu:Aja Miliunnah Surbakti,Datuk Ahmad Nil Surbakti,AJA MAHNON br SURBAKTI,Aja Nuraini Surbakti,Datuk Agustin Surbakti.
Datuk Sonet Mainan Surbakti mempunyai 11 orang anak dan istri bernama Saleha yaitu : DATUK ANWARSAL SURBAKTI, Aja Mariani Surbakti,Aja Aidia Surbakti,Aja Warca Surbakti,Datuk Ainu Harsun Surbakti,Aja Nuriani Surbakti,Datuk Ihsan Surbakti,Aja Ranian Surbakti,Datuk Syariful Surbakti,Datuk Mansyursyah Surbakti,Aja Habsyah Surbakti.
Aja Mahnon Surbakti.
Kawin dengan Datuk Anwarsal Surbakti mempunyai 5 orang anak yaitu :
1.Aja Zubaidah Surbakti.
2.Aja Warnon Surbakti.
3.Aja Chairanum Surbakti.
4.Datuk Umani Mahyuddin Surbakti.
5.DATUK CHAIRIL ANWAR SURBAKTI.
Datuk Chairil Anwar Surbakti.
Kawin dengan Rosiana Simatupang mempunyai 4 orang anak yaitu :
1AJA CHAIRINA RAHMAH SURBAKTI.
2.DATUK ABDUL JABBAR SHIDDIQAL CHAIR
FATHANAH SURBAKTI.
3.DATUK ABDUL RAZZAQ TABLIGHUL CHAIR
AMANAH SURBAKTI.
4.DATUK ABDUL HAFIIZH TABLIGHUL CHAIR
AMANAH SURBAKTI
Perlawanan Kerajaan Sunggal Terhadap Kolonialisme Belanda
Masyarakat di Indonesia sebelum kedatangan kolonialisme Belanda adalah masyarakat agro-maritim. Masyarakat tidak hanya hidup dari usaha pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga perdagangan antarpulau, bahkan dengan negara-negara tetangga.
Pedagang-pedagang dari pantai utara Jawa, seperti Jepara, Demak, Rembang, atau Tuban berlayar ke arah timur menuju Maluku, Nusa Tenggara, untuk menukar berasnya dengan kayu cendana, damar, pala, merica untuk dijual ke Tumasik (Singapura) atau ke pasar internasional di Malakka. Kesultanan Aceh sudah membina hubungan diplomatik yang rapat dengan Kerajaan Turki Ottoman, Inggris, maupun Cina.
Sementara itu, pedagang-pedagang dari Sumatera Barat juga sangat akrab dengan Malakka yang waktu itu menjadi pusat perdagangan. Struktur masyarakat adalah struktur feodal atau kerajaan dengan raja, panembahan, atau datuk beserta keluarga berperan sebagai elite yang memimpin masyarakatnya. Ketika kekuatan kolonialisme Belanda datang, golongan atau kelas pedagang belum sempat mengalami transformasi menjadi kelas menengah yang membawa perubahan masyarakat yang lebih egaliter dan modern dengan budaya industri. Masyarakat pesisir yang hidup dari perdagangan sedikit demi sedikit tersisih, karena kedaulatan daerah pesisir diserahkan kepada kekuasaan Kompeni Belanda. Penyerahan itu dilakukan sebagai kompensasi atas bantuan militer dalam perang suksesi raja-raja maupun sebagai ganti rugi atas kekalahan perang terhadap kekuasaan kolonial. Sementara itu, masyarakat pedalaman yang umumnya agraris dengan pola ekonomi swasembada dan elite kerajaan yang memerintah harus menghadapi perubahan-perubahan radikal, karena penguasaan kolonialisme Belanda atas sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia demi keuntungan negara induknya, dengan liberalisasi dan swastanisasi hampir di semua aspek kehidupan. Struktur pemerintah tradisional dengan raja atau bupati tetap dipertahankan tetapi hanya sekadar perpanjangan tangan kebijakan kolonial. Di daerah yang tradisinya kuat, seperti di Jawa maka sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) dijalankan oleh Belanda. Sementara untuk lingkungan masyarakat yang lebih egaliter, seperti di daerah Sumatera Timur dan Utara, Belanda menerapkan pemerintahan langsung (direct rule).
Menghadapi kekuatan modal dan kekuasaan politik asing yang luar biasa, reaksi masyarakat itu bermacam-macam, ada yang takluk menyesuaikan diri, bergabung dengan penguasa baru yang datang, atau menolak dengan cara melawan kekuatan kolonial itu. Sikap, usaha, dan perjuangan mereka yang menolak kekuatan asing untuk mengatur dan mengeksploitasi penduduk dan sumberdaya alam serta lingkungannya itu merupakan embrio bagi semangat nasionalisme yang menjadi dasar bagi pembentukan suatu bangsa. Perjuangan dan jerih payah serta pengorbanan mereka yang luar biasa memiliki nilai simbolis sebagai bagian dari tahapan kelahiran bangsa
A. Politik Kolonial Belanda di Sumatera Abad XIX
Liberalisme sebagai ideologi yang melanda Eropa Barat ternyata juga sangat memengaruhi politik kolonial terhadap tanah jajahan. Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang ditetapkan dalam Regering Reglement (Peraturan Pemerintah) tahun 1836 oleh Gubernur Jenderal van den Bosch telah membuat Negeri Belanda yang semula defisit bisa menikmati surplus yang besar (batig slot). Pada waktu itu belum ada pemisahan antara kas Belanda dan kas Hindia Belanda, sehingga uang dari Hindia Belanda terus masuk kas di negeri Belanda. Antara 1836 - 1887 mencapai jumlah besar, yaitu f. 823 juta. Perlu diketahui pada tahun 1920-an, buruh atau kuli dapat hidup (makan dan minum) dengan uang “sebenggol” (0,5 sen) sehari. Untuk mempertahankan keuntungan yang besar dari tanah jajahan, pemerintah kolonial mengundang sektor swasta untuk menanamkan modalnya. Lewat usaha para penanam modal itu, ekspor dari sektor swasta yang besarannya hanya sepertiga dari keseluruhan ekspor pada 1856 dapat ditingkatkan menjadi separo pada 1865. Tanah dapat disewakan dalam jangka panjang mulai dari 20 tahun hingga 75 tahun atau lebih. Sayangnya pada masa itu harga-harga komoditas mengalami fluktuasi yang sukar diprediksi. Fluktuasi atau naik turunnya harga itu dipicu oleh kemajuan komunikasi dengan dibukanya Terusan Suez pada 1869 dan penggunaan kapal uap yang kemampuan jelajahnya lebih cepat dari kapal layar biasa. Harga gula dan kopi jatuh. Ekspor kopi mengalami kemerosotan, sementara pabrik gula menjadi sulit karena penyakit sereh yang melanda tanahaman tebu tahun 1882.
Harga gula juga turun drastis karena persaingan ketat dengan gula biet dan gula dari Amerika. Meskipun sempat mengalami booming ekspor, tanaman kopi juga diserang habis oleh
Arus liberalisasi itu mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mencari peluang industri pertambangan, seperti batubara, timah (1865), minyak tanah (1890), dan batu pualam sebagai alternatif dari sektor pertanian atau agribisnis yang sudah mendapat saingan berat di pasaran dunia. Pemerintah kolonial melihat keuntungan yang bisa ditangguk bukan hanya di produksi komoditas ekspor (planter), tetapi juga dari monopoli sektor perkapalan dan perdagangan yang semula hanya dipandang sebagai usaha sampingan. Dalam perkembangan kenaikan barang ekspor terlihat bahwa semakin besar hasil-hasil yang dieksploitasi dari daerah luar Jawa. Tanaman pangan (food crops) makin tersisih dengan pertumbuhan tanaman untuk ekspor yang dijual (cash crops). Pemerintah Kolonial memang lebih berpaling ke daerah luar Jawa, karena mobilisasi tenaga di daerah pedesaan Jawa akan menghadapi banyak kesulitan yang muncul akibat ikatan desa dan ikatan feodal masih mengekang tenaga rakyat, Heeren-diensten (kewajiban untuk raja), pancen diensten (kewajiban untuk menyerahkan sebagian hasil bumi kepada pejabat pemerintah), dan desa diensten (kewajiban gotong royong desa) sudah sangat melembaga. Ikatan-ikatan itu hanya dapat dikurangi atau dihapuskan dalam waktu lama. Di Jawa Tengah, misalnya, wajib kerja dikaitkan dengan hak menguasai tanah, di Jawa Timur, Madura, dan Jawa Barat, wajib kerja lebih dihubungkan dengan keluarga (cacah).
Penanaman modal dalam industri yang gencar dijalankan itu dibarengi dengan kapitalisasi finansial dengan munculnya perusahaan-perusahaan swasta. Usaha perusahaan itu diperlancar lewat kemudahan pembebasan tanah dengan UU Agraria tahun 1870 dan murahnya upah buruh lewat Koeli Ordonantie tahun 1880 (tepat 10 tahun setelah perdagangan budak resmi dihapus atau dilarang) yang mengatur hubungan antara buruh atau kuli dengan majikan, khususnya untuk daerah perkebunan di Sumatera Timur dan daerah luar Jawa pada umumnya. Pada tahun-tahun itu juga dibuka banyak bank yang dapat memberi kredit bagi perusahaan-perusahaan swasta. Gubernemen juga mengeluarkan modal untuk membangun infrastruktur seperti kereta api, irigasi, dan pelabuhan. Pada tahun 1878 UU Gula menghapus tanam paksa gula sehingga gula menjadi komoditas yang secara bebas diperdagangkan. Pola dan sistem pertanian yang pada masa sebelumnya lebih bersifat swadaya (self suffieciency) diubah total menjadi pertanian yang melulu mengabdi pada komoditas ekspor. Tanah jajahan hanya menjadi sumber tenaga buruh yang murah dan wahana eksploitasi sumberdaya alam untuk memperoleh keuntungan dalam pasaran dunia. Perdagangan hanya menguntungkan negara industri yang menjajah dan cikal bakal “industri” pribumi di pedesaan terdesak bahkan mati. Dalam tahap ini pemiskinan negara jajahan dimulai. Tanaman pangan yang menjadi andalan swasembada desa atau daerah terdesak dan bahkan tidak mendapat tempat, karena merajalelanya tanaman ekspor yang digalakkan dan bila perlu dipaksakan oleh pemerintah. Pemerintah kolonial mendapat peluang untuk mendukung eksploitasi tanah jajahan dengan proses swastanisasi itu dalam banyak sektor kehidupan, diiringi dengan pemantapan administrasi birokrasinya. Dalam kaitan itu, pada 1855 didirikan departemen keuangan, pertambangan dan perkebunan, departemen hasil-hasil tanaman dan pergudangan, departemen kultur gubernemen, dan pekerjaan umum. Disusul juga dengan pendirian beberapa departemen lain pada 1866 dan 1870, seperti departemen administrasi, pendidikan, agama, industri, departemen kehakiman.
Perluasan Wilayah Kolonial Belanda
Perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda yang disebut Traktat London tahun 1824 menyepakati bahwa Belanda dapat mengambil alih kembali tanah jajahannya di Hindia Belanda dengan tetap menghormati kedaulatan politik Aceh, Bali, dan kerajaan-kerajaan lain, seperti Siak, Deli, Sunggal, dan Serdang. Dengan kerjaan Aceh pun Belanda mengikat perjanjian damai pada tahun 1857. Langkah Belanda itu juga dibarengi dengan diplomasi ke kerajaan Siak, sehingga tahun 1858 dicapai Traktat Siak. Dalam perjanjian itu Sultan Siak meletakkan kerajaannya di bawah pemerintahan Hidnia Belanda. Sebagai imbalannya Belanda mengakui (pasal 2 ayat 2) kekuasaan Siak berlaku atas kesultanan Deli, Serdang dan Asahan. Traktak Siak dipakai Belanda untuk menarik sultan-sultan Deli, Serdang, dan Asahan secafra terus terang mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka. Dengan pengakuan atas Sultan Siak itu secara tidak langsung mereka mengakui kekuasaan Belanda. Tindakan Belanda itu oleh Sultan Aceh Alauddin Ibrahim Mansur Syah dianggap melanggar kedaulatan kerajaan Aceh, karena Aceh mempunyai hak-hak (meskipun tidak di seluruh Siak) di perbataasan bagian Utara, yaitu Deli, Serdang,d an Asahan yang merupakan daerah pengaruh kesultanan Aceh. Gubernur Jenderal di Batavia juga mengirim surat perintah kepada Residen Riau, Schiff yang isinya untuk perintah untuk mengusahakan agar kekuasaan Belanda berlaku di daerah-daerah pesisir Sumatera Timur yang oleh Sultan Aceh masih dianggap sebagai wilayahnya secara tidak langsung. Untuk melaksanakan perintah itu , Residen datang ke Deli, Serdang, dan Asahan guna membujuk kepala-kepala derah tersebut. Hanya Sultan Deli yang langsung menerima mau tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, sejak pertengahan tahun 1862 Belanda menempatkan pasukannya di Deli, Langkat,d an Batu Bara.
Abad 19 dalam sejarah
Keberhasilan perusahaan perkebunan mencari tanah karena adanya dukungan politik dari Sultan Deli dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Belanda dan Sultan Deli memiliki kepentingan tersendiri. Pemerintah Belanda berusaha menciptakan kawasan Sumatera Timur/Deli menjadi daerah penghasil komoditi perdagangan untuk pasar Eropa. Tujuan ini sesuai dengan politik pintu terbuka (opendoor politiek) yang sedang dijalankan pemerintah Belanda mulai 1870. Opendoor Politiek dijalankan dengan maksud mencari investor asing agar mau menanamkan modalnya dalam industri perkebunan di
Sebaliknya adanya skenario besar dari dua kekuasaan itu menimbulkan malapetaka bagi rakyat Sunggal. Datuk Sunggal tidak dilibatkan dalam urusan sewa tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah Belanda. Konflik ini sesungguhnya juga merupakan ekses terjadinya kontak langsung antara masyarakat dengan tatanan tradisional dengan sistem ekonomi modern/kapitalisme. Konflik terbuka antara rakyat Sunggal dibawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan Perang Sunggal terjadi 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang Agraria diterapkan di Hindia Belanda. Ini membuktikan bahwa konflik itu (latar belakang perjuangan Datuk Badiuzzaman) erat sekali kaitannya dengan masalah tanah. Menurut para tuan kebon yang pertama, pada dasarnya para penguasa pribumi itu sebetulnya adalah orang-orang biasa yang tidak jauh berbeda dengan para kawulanya. Semula kekuasaanya mereka terbatas, tetapi kemudian kekuasaannya mereka menjadi besar setelah menyerahkan lahan kepada para pengusaha Eropah untuk digunakan dalam jangka panjang, mereka menyerobot hak kepemilikan tanah atas tanah yang sebelumnya tidak mereka punyai.
Dengan Traktat Siak, pemerintah kolonial Belanda menemukan jalan pintas untuk menuju daerah Aceh. Lewat bujukan Belanda dapat masuk ke Deli, dan dengan kekerasan (Sunggal, Serdang,d an Asahan) kerajaan-kerajaan itu hendak ditaklukkan. Penaklukan itu untuk mengepun kesultanan Aceh, dari sebelah Barat infiltrasi militer bermarkas di
Konflik atau pergolakan di daerah, seperti daerah Deli dan Sunggal merupakan akibat langsung dari proliferasi masyarakat di
Kisah sukses Deli Maatschapij itu tidak lepas dari dukungan Sultan Deli yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas upaya-upaya pembangunan perkebunan di kawasan itu. Secara ekonomi besarnya uang sewa yang didapatkan sangat menaikkan pendapatan, kekayaan, dan juga martabatnya sebagai seorang sultan. Secara juridis-politis, wilayah kekuasaanya diakui pemerintah Belanda dan dengan kesamaan kepentingan ekonomi itu, lebih mudah beraliansi politik dan militer dalam menghadapi kerajaan tetangganya, yaitu Sunggal. Usaha untuk menguasai Kerajaan Sunggal sudah dijalankan oleh para sultan Deli sebelum Belanda masuk ke wilayah itu, baik usaha secara damai lewat politik perkawinan keluarga kedua kerajaan itu, maupun secara kekerasan lewat perang pada 1822 agar dapat menguasai wilayah Sunggal. Sebaliknya, kekuasaan Belanda dan Deli yang berkolaborasi menimbulkan masalah bagi rakyat Sunggal. Datuk Sunggal dengan sengaja tidak dilibatkan dalam urusan sewa tanah dan inilah yang menimbulkan konflik terbuka dengan pemerintah Belanda. Konflik ini sesungguhnya juga merupakan akibat dari kontak langsung antara masyarakat dengan tatanan tradisional dan sistem ekonomi kapitalistik yang datang dengan modal besar dan didukung oleh kekuatan hukum dan politik yang kuat. Konflik terbuka antara rakyat Sunggal di bawah Datuk Badiuzzaman dengan Belanda dikenal dengan Perang Sunggal, dimulai pada tanggal 15 Mei 1872, tepat dua tahun setelah undang-undang Agraria diterapkan di Hindia Belanda. Pada awalnya prosesnya begitu gampang. Residen Riau yang ketika itu membawahi Sumatera Timur secara terbuka menawarkan Deli sebagai daerah untuk perkebunan swasta. Sejalan dengan itu, maka pada 1866 Sultan Mahmud dari Deli menyerahkan tanah yang sangat luas memanjang dari Mabar sampai ke hulu Deli Tua, antara Sungai Deli dan Percut (sekitar 12.000 bau) untuk masa sewa selama 99 tahun tanpa pajak kepada Nienhuys dan dua orang Swiss dan seorang Jerman untuk ditanami tembakau.
Pada masa awalnya proses budidaya tembakau masih tetap menggunakan cara tradisional, yakni memberikan “uang muka” (voorscot) pada orang Batak Karo untuk mau menanami lebih banyak tembakau di lahan konsesi untuk mereka. Akan tetapi, upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan. Nienhuys akhirnya memutuskan untuk membuka perkebunan sendiri dengan menggunakan tenaga kuli, namun orang Melayu dan Batak tidak bersedia menjadi tenaga kuli. Kesulitan akan tenaga kerja kemudian dapat diatasi dengan merekrut tenaga kuli Cina dari luar. Awalnya para kuli ini menerima uang muka dari sejumlah uang yang akan diberikan oleh Nienhuys pada waktu musim tanam berakhir, yang besarnya sangat tergantung pada jumlah dan mutu tembakau yang dipanen. Pada waktu itu, sistem kerja upahan belum berlaku. Yang ada adalah sistem kerja borongan.
Sejak 1870 mulailah dibuat kontrak langsung dengan masing-masing kuli dan para mandor diangkat sebagai pengawas. Adanya campur tangan langsung pengusaha dalam pengorganisasian produksi menandai terjadinya peralihan ke kapitalisme industri yang sesungguhnya di Sumatera Timur. Tidak lama kemudian terbukti bahwa tembakau Deli merupakan produk yang paling menguntungkan di pasar Eropa. Untuk usaha budidaya tembakau dalam skala besar dibutuhkan modal yang banyak. Atas keberhasilan Nienhuys maka para pemodal Eropa berlomba menanam investasi di industri perkebunan tembakau di Deli. Jumlah perkebunan meningkat dari 13 pada 1873 menjadi 23 pada 1874 dan hingga 1876 sudah ada 40 perkebunan yang beroperasi di Deli, Sumatera Timur. Sejalan dengan itu, berbagai bangsa berada di kawasan ini, seperti Belanda, Swiss, Jerman, Polandia,
Datuk Sunggal juga tidak begitu senang dengan kehadiran orang-orang Cina di perkebunan-perkebunan yang masuk wilayah kekuasaan Sunggal, karena kehadiran mereka sangat mengancam kelangsungan perekonomian rakyat Sunggal dan secara tidak langsung merusak moral masyarakat. Sebagaimana dikatakan Datuk Kecil ketika ia diinterogasi di penjara Tanjung Pinang Riau bahwa, “Mereka tidak setuju tanah rakyat yang subur dibagi-bagi begitu saja seenaknya oleh Sultan Deli kepada perkebunan-perkebunan Belanda”. Dengan datangnya orang “Belanda kebon” (pengusaha Belanda yang bergerak dalam usaha perkebunan), juga berduyun-duyun masuk orang Cina yang kemudian diberi monopoli pachter berdagang garam, candu, dan membuka tempat-tempat perjudian di mana-mana. Sebagai contoh dikemukakan bahwa penjualan candu diborongkan di Sunggal saja naik dari $50,- menjadi $600.-dalam dua tahun saja.
Kehadiran pengusaha perkebunan yang kapitalistik dan orang-orang Cina sangat mengancam jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) orang-orang Batak Karo yang memang sudah tertanam sejak lama. Semangat kewirausahaan itu kini mendapat tantangan dari pendatang baru yang didukung secara tidak fair oleh kekuatan kolonial Belanda yang memanfaatkan orang-orang Cina itu untuk kepentingan mereka. Konversi tanah yang dikuasai perseorangan menjadi tanah yang dikuasai tuan perkebunan, berarti tanah masuk dalam objek komersialisasi. Campur tangan orang-orang pemerintahan atau gubernemen ke desa-desa mencakup pernyataan domein (domein verklaring) yang sering mengabaikan hak-hak rakyat menurut hukum adat, sehingga rakyat tidak dapat lagi memperluas tanah garapannya lagi. Dengan Aturan Pembukaan (Ontginning Ordonantie) yang diberlakukan pada 1874, setiap pembukaan tanah baru memerlukan izin pemerintah, sedangkan berdasarkan UU Agraria banyak tanah yang belum terbuka tersedia seluas-luasnya bagi perusahaan asing dengan kapitalismenya. Perlawanan masyarakat Karo segera terjadi secara sporadis sehingga mempersulit para pengusaha untuk begitu saja membuka dan menguasai lahan baru. Kesulitan pengusaha Nienhuys mengelola budi daya tembakau pada masa-masa awal kehadirannya di Deli tidak bisa dilepas dari faktor kuatnya usaha orang-orang Karo tersebut. Sudah sejak awal abad XIX orang-orang Batak Karo sudah membuka kebon lada dan menanam tembakau. Bakat mereka sebagai pengusaha sangat tampak, menyebabkan mereka sejak awal tidak bersedia menjadi kuli di perkebunan tembakau. Karl J. Pelzer menyatakan bahwa “[...] Bakat orang Batak Karo sebagai pengusaha memang menonjol. Dengan kecerdasan yang patut dipuji, beberapa pemimpin mereka mampu menemukan jalan dan cara untuk mengorganisasikan industri yang baru disertai sistematisasi produksi dan pemasarannya. ” Kehadiran orang Cina di Sunggal selalu dicurigai dan bahkan ada yang ditangkap oleh Datuk Badiuzzaman dan dipenjara atas tuduhan melakukan kegiatan mata-mata dan menjual candu. Penangkapan inilah yang kemudian menjadi argumentasi kuat Pemerintah Belanda untuk menggempur Sunggal. Karena melalui penjelasan Orang Cina (bernama Anton) inilah diketahui bahwa ada mobilisasi kekuatan bersenjata yang tiap hari dilakukan oleh Datuk Sunggal. Namun sebetulnya, penyebab konflik itu secara kultural dapat dijelaskan karena terjadinya perubahan yang demikian cepat di Deli. Hanya dalam tempo delapan tahun sejak 1864, hubungan-hubungan sosial tradisional terganggu oleh hadirnya kapitalisasi perkebunan. Perubahan itu bahkan lebih cepat dari yang apa yang dapat diperhitungkan orang-orang pribumi. Akibatnya, bila di daerah lain, kemajuan secara bertahap dapat diterima oleh masyarakatnya secara bertahap pula, maka di Deli perubahan itu demikian cepat sehingga mengganggu orde tradisional. Dengan demikian, semakin dalam penetrasi birokrasi kolonial memengaruhi struktur sosial ekonomi-politik komunitas bumiputra, semakin mendasar pula konflik kepentingan yang diakibatkan.
Antara Sunggal dan Deli
Sunggal dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama sekali. Hubungan kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si pendiri kerajaan Sunggal. Adir mempunyai anak sepuluh orang, yaitu sembilan laki-laki dan seorang wanita bernama Nang Baluan. Kekuasaan Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat, meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia memerintah dari 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh menempatkan Gotjah Pahlawan di Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat wilayah hukum Suku Karo yang dikenal dengan Urung (federasi beberapa kampung). Keempat Urung itu adalah Sunggal, Sinembah, XII
Dalam perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang surut. Pada 1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa kuat dan berusaha menaklukkan Sunggal dengan cara melakukan perkawinan politik, yakni menyunting Dajan Sermaidi (Sermaini) anak Datuk Undan raja Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara seperti ini tidak membuat Sunggal menjadi bawahan Deli hingga akhirnya pada 1822 Deli menyerang Sunggal. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal
masa itu. Serangan ini bukan membuat Sunggal menjadi lemah, tapi malah berakibat buruk bagi Deli, yakni Deli kehilangan pengaruh atas keempat raja-raja Urung di Deli dan pedalaman Karo. Akibatnya, hubungan menjadi semakin buruk dan Sunggal di bawah Datuk Amar Laut (1823)
memutuskan menonaktifkan konfederasi Deli (ketika itu pun Deli takluk pada Kerajaan Siak). Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan Sunggal merdeka dengan mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan kuning, dengan cap/lambang gajah. Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya dengan John Anderson di Sunggal, Datuk Amar Laut yang telah berusia 45 tahun ditemani ketiga putranya, masing-masing Abdul Hamid, Abdul Jalil, dan Mahini, menjelaskan bahwa ia baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan tindakan Sultan Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh karena itu, meski telah ada perdamaian, menurut
Datuk Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja Sunggal pada 1845-1857. Ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sunggal (sekarang terletak di Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal,
Sebagaimana sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian cepat dan membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung Sunggal. Dengan dukungan perangkat hukum Undang-Udang Agraria, pihak perusahaan perkebunan secara sah menurut hukum bisa meyewa tanah dengan jangka waktu yang sangat lama, yakni 99 tahun (kemudian diubah 75 tahun). Undang-undang ini memang sengaja diciptakan untuk mengantisipasi perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang sudah mulai terkenal di pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang terbaik mutunya di dunia saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya tembakau memang membutuhkan lahan yang luas dan subur dengan masa rotasi tanam yang lama. Sebuah lahan yang habis dipanen harus dihutankan kembali agar menjadi subur untuk kemudian ditanami kembali. Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang lain agar produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka pasokan untuk ekspor akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan mengurangi arus pemasukan dalam kas keuangan pemerintah Hindia Belanda.
Pihak pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika melakukan gerakan fasifikasi ke Deli, sangat membutuhkan bantuan para inverstor asing untuk membangun daerah yang baru dikuasainya itu. Akibatnya, perusahaan perkebunan menjadi bertindak semena-mena karena didukung oleh kebijakan politik kolonial dan tradisonal (Sultan Deli). Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan para penguasa Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzzaman Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta seluruh kerabat dan orang-orang dekatnya, termasuk orang-orang Batak Karo dari pegunungan mengadakan rapat di sebuah kebun lada. Rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil (Mahini), Datuk Jalil, Datuk Sulong Barat, Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dari pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai komandan Lasykar Aceh, Alas, Gayo.
Hasil rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Deli dan Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman mengatakan bahwa “perselisihan sesama kita selama ini lenyapkan dari pikiran dan marilah kita bersama-sama melawan Belanda yang hendak merampas tanah kita…”. Sementara Datuk Kecil berkata, “kalau kita tak turut kita akan diusir Belanda”. Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa “Belanda dan Sultan Deli setali tiga uang belaka, merampas tanah rakyat demi kepentingannya sendiri.” Rapat itu memutuskan (a) Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat membina persatuan dan kesatuan dan segala perselihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya harus dilenyapkan; (b) Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur untuk masyarakat; (c) Sunggal. Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) secara bersama-sama mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya. Untuk merealisasi hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang dipusatkan di Kampung Gadjah/Sitelu Kuru Tanah Karo. Badan ini berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang yang terdiri dari orang yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini (Kecil) dengan mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal yang ditugaskan mengurusi badan ini di Kampung Gadjah adalah beragama Islam. Selama bertugas di Kampung Gadjah, mereka bertemu dengan saudara-saudaranya marga Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat pemandian mereka yang dikenal dengan “tapian jawi” (pemandian orang Islam).
Datuk Badiuzzaman dan Perang Sunggal Mei - Oktober 1872
Dukungan masyarakat Sunggal terhadap rencana perlawanan Datuk Badiuzzaman terhadap Belanda demikian besar. Dukungan itu tampak dengan banyaknya sumbangan uang dari setiap rumah tangga di Sunggal sebesar 2 sampai 10 dollar yang digunakan untuk mempersiapkan basis pertahanan perang. Para pejuang Sunggal kemudian menempelkan pernyataan perang yang menurut kebiasaan orang Karo dinamakan “musuh beringin” pada tempat-tempat tertentu yang menyatakan bahwa kepada mereka yang berpihak kepada Sultan Deli dan Belanda akan dibakar. Melalui Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulong Barat sebagai komandan yang langsung menggerakkan perlawanan rakyat di lapangan terus dilakukan persiapan. Timbang Langkat dijadikan basis pertahanan dengan diperkuat oleh 1500 pasukan. Bukan hanya itu, koordinasi dengan Kejeruan Selesai dan Bahorok di Langkat terus digalakkan. Koordinasi ini relatif mudah karena ada hubungan kekeluargaan antara para pembesar Sunggal dan kedua Kejeruan tersebut, yakni istri Datuk Kecil dan Datuk Jalil adalah putri dari Kejeruan Selesai. Kekuatan para pejuang Sunggal sudah mencapai 1000 orang Karo dan 500 orang Melayu. Sebagian besar mereka dipersenjatai dengan senapan pemburas (senapan locok). Dukungan masyarakat Karo sebenarnya bukannya hanya dari Sunggal, tetapi juga dari Tanah Tinggi Karo. Sebagaimana dijelaskan di bagian depan, bahwa sebagai Raja-Raja Urung Sunggal adalah bermarga Surbakti dari Kampung Gadjah di Tanah Karo, maka tidak mengherankan jika kecintaan orang-orang Karo terhadap Datuk Badiuzzaman demikian tinggi. Bagi orang Karo, marga Surbakti memiliki nilai lebih daripada orang Karo lainnya. Terutama sejak Datuk Badiuzzaman Sri Indra Pahlawan Surbakti mengambil sikap menentang penjajahan Belanda. Masyarakat Karo di Tanah Tinggi Karo memiliki strategi dan cara tersendiri dalam memberikan bantuan kepada perjuangan Datuk Badiuzzaman. Dalam memberikan bantuan tersebut, menurut Tampak Sebayang, ada enam jalur perjuangan yang secara tradisional dipergunakan masyarakat Karo. Jalur perjuangan ini sebenarnya juga adalah jalur budaya dan perdagangan yang secara tradisional digunakan orang-orang Karo sejak dahulu untuk berdagang dan bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya di daerah Deli, Langkat, Serdang, dan Aceh.
Jalur dagang itu secara rinci adalah sebagai berikut. Dari Desa Gadjah (Kampung Surbakti) -Kawar-Pamah Sembilir-Telagah-ke Langkat/Binjai. Dari Lau Sigedang- mengikuti aliran Sungai Bingai- terus ke Subekan-Tanduk Benua-ke Binjai. Dari Sibolangit-ke Tanduk Benua. Dari Sembahe-ke Tanduk Benua. Dari Talun Kenas- Deli Tua-Rumah Bacang- Pancur Batu- Sungai Belawan- Tanjung Selamat - ke Sunggal. Dari Tamiang (Aceh)- Berandan-Tajung Pura-Binjai-Namu Ukur- Tanjung Gunung-Sawit-Subeikan- Tanduk Benua. Jalur-jalur inilah yang dipakai para pejuang Sunggal dalam membantu perjuangan; melawan Belanda. Melalui jalur inilah mengalir bantuan berupa lasykar/pasukan dan logistik perang lainnya.
Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa salah satu pasukan dari Tanah Karo adalah Nabung Surbakti (Pulu Jumaraja), dan ada lagi bernama Pa Blegah dan Pa Tolong. Nabung Surbakti mempunyai seorang asisten bernama Pangaring (Rasyid) Sebayang. Dengan demikian, salah satu yang berperan sebagai kurir dalam menyampaikan pesan-pesan perjuangan dan koordinasi perlawanan adalah Pangaring Sebayang. Di samping itu, ada juga kurir-kurir yang berperan sebagai pedagang garam. Kurir-kurir itulah orang-orangnya Datuk Badiuzzaman yang sekaligus sebagai penyampai pesan (musuh beringin), logistik, dan juga pasukan. Peranan kurir dalam perang Sunggal demikian penting, karena bagi orang Karo pesan yang disampaikan melalui seorang kurir itu lebih berharga daripada melalui
Sementara pada April 1872 Tuan Munnick melaporkan bahwa kuli Tuan H.H. Schlatte dan Peijer yang sedang membangun jalan menuju Langkat harus menghentikan pekerjaan mereka karena diancam oleh 40 orang Batak Karo atas perintah dari Datuk Sunggal. Dalam sebuah pertemuan antara Sultan Deli, Komandan Kapal Bangka, dan Kontrolir Deems diketahui bahwa sejak Agustus 1871 di wilayah Sunggal sebenarnya sudah terjadi oposisi terhadap kekuasaan Sultan Deli dan perusahaan perkebunan. Oposisi itu sebenarnya dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman yang mendapat pengaruh dan dukungan kuat dari Datuk Kecil dan saudaranya Datuk Djalil, yang walaupun sudah berusia lanjut masih berusaha memerdekakan Sunggal dari Deli dan Langkat. Sebenarnya usaha Sultan Deli untuk membujuk Datuk Sunggal, Datuk Jalil, dan Datuk Kecil sudah dilakukan, tetapi selama ini mengalami kegagalan. Para Datuk dari Sunggal tetap tidak mau menghadiri undangan Sultan Deli untuk berunding. Datuk Kecil menolak datang ke Deli dengan alasan bahwa Sunggal adalah tanah airnya dan bahwa ia tidak ada urusan apa-apa dengan Sultan Deli dan memprotes tindakan kontrolir Deems yang melarang masuknya mesiu dan timah. Menanggapi situasi yang membahayakan bagi kepentingan perkembangan perkebunan tembakau dan mengancam keamanan dan ketertiban (rust en orde) di Deli maka Kontrolir Deli, Deems, memanggil Datuk Badiuzzaman sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban di Sunggal ke Labuhan Deli. Datuk Badiuzzaman memenuhi panggilan itu dan ia ditanyai seputar berita-berita yang sedang terjadi di Sunggal. Datuk Badiuzzaman menjelaskan bahwa Sultan telah bertindak kasar dan telah menahannya, tetapi tentang mempersenjatai para pengikutnya ia tidak memberikan komentar sedikit pun. Pemerintah Belanda akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan operasi menghancurkan kekuatan pejuang Sunggal. Dengan agak tergesa-gesa, sebuah ekspedisi militer gabungan dari kesatuan Angkatan Darat (Infantri, Artileri dari Garnizun Tanjung Pinan) dan Korp Marinir Angkatan Laut dari Kapal perang Bangka, dan Den Briel di bawah pimpinan Kapten W. Koops tiba di Labuhan Deli dan langsung menuju Sunggal pada 15 Mei 1872. Pasukan Belanda dibantu oleh 200 orang prajurit Sultan Deli di bawah pimpinan Raja Muda Sulaiman dan beberapa ratus prajurit Pangeran Langkat di bawah pimpinan Tengku Hamzah dan Datuk Laksemana, dibantu oleh beberapa ratus buruh perkebunan tembakau untuk mengangkut logistik dan persenjataan. Pasukan Belanda ini langsung menuju perkebunan Arendsburg (Klumpang) dan
Mengingat perlawanan demikian hebat dari pejuang Sunggal maka Pemerintah Belanda melalui Assisten Residen Riau, Locker de Bruijne, berusaha memutuskan hubungan koordinasi antara Datuk Badiuzzaman dengan para komandan pasukan di daerah Timbang Langkat dan hutan pegunungan. Beberapa Kepala Kampung Karo dikumpulkan dan Datuk Badiuzzaman dipaksa untuk menyerahkan para pejuang Sunggal dan memerintahkan agar orang-orang Melayu yang ikut bertempur di hutan-hutan agar kembali ke rumah masing-masing. Oleh karena Datuk Badiuzzaman tidak bersedia bekerja sama maka ia dikenakan tahanan
Perjuangan lewat Perang dan Perundingan
Perundingan ini harus dilakukan di tempat netral, yakni di sekitar Kampung Lalang dan Belanda harus melucuti pasukannya. Berdasarkan kesepakatan itu maka Datuk Badiuzzaman dengan rombongan diiringi musik serdadu Belanda (tanpa senjata) daan diantar Datuk Sulong Barat, menyampaikan kesepakatan tersebut kepada Datuk Mohd. Jalil dan Datuk Kecil yang saat itu sedang sakit di Kampung Gadjah. Pada 20 Oktober tibalah rombongan Datuk Kecil dengan diiringi pasukan pengawalnya di Sunggal. Kemudian, dengan dikawal pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Ponstein rombongan Datuk Badiuzzaman dan Datuk Kecil menuju tempat perundingan di perkebunan Arensburg (Klumpang) tempat tinggal sementara Schifft, Residen Riau. Rupanya harapan Datuk Badiuzzaman yang masih menaruh harapan akan niat baik Belanda dalam perundingan antara pihak yang bertikai sebagai pihak yang “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” tidak terjadi. Ketika perundingan sedang berlangsung, 25 Oktober 1872, tiba-tiba Residen Riau memerintahkan kepada para Datuk Sunggal itu untuk minta ampun pada Gubernur Jenderal di Batavia.
Datuk Kecil kemudian menjawab bahwa mereka tidak melakukan kesalahan apa-apa dan tidak perlu minta ampun. Namun, Residen Riau kemudian menyatakan bahwa mereka sekarang telah menjadi tawanan dan memerintahkan kepada Letnan Kolonel van Stuwe untuk melucuti semua pasukan pejuang Sunggal.
Kontrak-kontrak tanah untuk perusahaan perkebunan mulai ditata kembali dengan lebih memperhatikan kesejahteraan para penduduk pribumi. Sewa tanah dalam kontrak-kontrak yang dilakukan oleh para pengusaha bangsa Eropa, seluruhnya diperuntukkan bagi Datuk empat suku di Deli, sepanjang tanah-tanah itu masih masuk wilayahnya. Pada 14 Juni 1873, peraturan ini diperkuat dengan akte baru.
Datuk Badiuzzaman, setelah Datuk Kecil dan rekan-rekannya, ditangkap kemudian mengubah pola perjuangan dari perang frontal menjadi serangan sporadis ke bangsal-bangsal tembakau milik perusahaan perkebunan Eropa dengan tujuan memberikan rasa tidak aman bagi Tuan Kebon Eropa bersama keluarganya dan menghentikan produksi perkebunan dan ekspansi areal perkebunan. Tembakau yang disimpan di bangsal-bangsal dan siap untuk diekspor dibakar sebagai tindakan balasan terhadap aksi penyerobotan tanah-tanah rakyat Sunggal oleh perusahaan perkebunan tembakau dan dilindungi pasukan Belanda yang ditempatkan di setiap emplasmen perkebunan. Setiap bangsal tembakau yang akan diserang/dibakar ditempelkan terlebih dahulu tanda adat “musuh beringin”. Dalam sebuah pertemuan antara Assisten Residen Siak, Locker de Bruijne, Sultan Deli, dan Datuk-Datuk Empat Suku, bulan April 1873, Locker de Bruijne secara tegas memperingatkan Datuk Badiuzzaman apabila masih ada gangguan keamanan dan ketertiban di wilayahnya, maka yang harus bertanggung jawab adalah Datuk Badiuzzaman. Rapat ini dilakukan karena keamanan mulai terganggu lagi, apalagi setelah utusan dagang Sultan Deli hilang tidak diketahui rimbanya. Kejadian itu membuktikan bahwa perlawanan rakyat Sunggal tidak berhenti, bahkan semangat perlawanan itu terus membara dan ditebarkan oleh Datuk Badiuzzazman.
Tetap Menolak Tunduk
Di bawah pimpinan Datuk Badiuzzaman dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar, rapat-rapat rahasia sering dilakukan dengan pemuka masyarakat di beberapa tempat, termasuk di Kampung Pagar Batu atau Pancur Batu. Dalam rapat itu mereka tetap tidak mau mengakui kekuasaan Sultan Deli atas Sunggal dan membahas cara melakukan serangan terhadap perkebunan. Pimpinan penyerangan dan pembakaran bangsal-bangsal tersebut diserahkan kepada adik kandungnya, Datuk Alang Muhammad Bahar. Keadaan di Deli semakin gawat dengan munculnya bahaya kelaparan. Keadaan ini terjadi karena adanya aksi pemboikotan rakyat petani yang turut bersimpati dengan perjuangan Datuk Sunggal tidak dan mau menjual berasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda mengimpor beras dari Rangon (Birma).
Hingga tahun 1866, gerakan pengacauan di perkebunan tembakau terus berlangsung. Schadee melaporkan bahwa para pemilik perkebunan beserta keluarganya di beberapa tempat mati terbunuh. Mereka yang selamat menjadi panik dan melarikan diri ke
Polisi segera berhasil menangkap para pelaku penyerangan, yakni empat orang Batak Karo dan dua orang Melayu ditembak mati, enam orang lainnya dihukum kerja paksa. Pemimpin utamanya bernama Razal dipenjara. Setelah dilakukan aksi pembersihan oleh Belanda, ternyata diketahui bahwa serangan-serangan itu diperintahkan oleh Panglima Selan, seorang Batak Karo yang memiliki pengaruh di kalangan orang-orang Gayo yang bermarkas di Si Umpih-Umpih (kira-kira 10 jam perjalanan dari Timbang Langkat). Ia memang sudah sering membuat keonaran dan setelah itu ia menghimpun sejumlah orang sekampungnya untuk menyerang perkebunan Ajer Tawar. Pada bulan November 1887 markasnya digempur pasukan militer Belanda, tetapi Selan dan pengikutnya sudah meninggalkan tempat itu. Namun demikian, semua barang yang menurut Belanda merupakan hasil rampasan dalam tiap aksi penyerangannya berhasil ditemukan Militer Belanda di Sungai Diski. Berbagai penyerangan yang dilakukan Panglima Sekalian sebenarnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan Datuk Badiuzzaman menentang kolonialisme Belanda, sebagai startegi meneruskan perjuangan setelah paman-pamannya Datuk Kecil, Datuk Jalil, dan Sulong Barat dibuang Belanda ke Jawa.
Panglima Selian sebenarnya adalah anak buah Datuk Alang Bahar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua aksi pembakaran perkebunan di Tandem, Sungai Mencirim, Diski, Gedong Johor, dan penghadangan pasukan militer Belanda adalah atas perintah Datuk Badiuzzaman dan adiknya, Datuk Alang Bahar.
Mengingat semakin seringnya aksi-aksi pembakaran terhadap perkebunan maka Belanda mulai merencanakan strategi Kristenisasi melalui lambaga Alkitab Belanda (Zending) untuk memecah belah persatuan antara orang Melayu dan Karo Sunggal. Mereka mendukung kegiatan zending untuk membendung pengaruh Melayu/Islam di kalangan orang Batak Karo yang non-Islam. Wujud tindakan memecah kesatuan antara orang Melayu dan Karo juga tampak dalam berbagai laporan pemerintah kolonial Belanda yang selalu menyebut aksi-aksi pembakaran perkebunan dilakukan oleh orang Batak, tidak disebutkan oleh orang Karo.
Politik pecah belah itu tidak berhasil dan bahkan persatuan antara orang Karo/Melayu Sunggal dengan Batak Karo di Pegunungan makin kuat untuk membebaskan daerahnya dari penjajahan Belanda. Bagaimanapun, aksi pembakaran bangsal-bangsal tembakau membuat produksi perkebunan menurun dan pada gilirannya mempengaruhi perekonomian Hindia-Belanda. Belanda akhirnya berusaha keras untuk mengatasi aksi-aksi sabotase tersebut, termasuk dengan mempergunakan mata-mata yang disusupkan ke Sunggal. Upaya ini berhasil. Berdasarkan seorang mata-mata wanita bernama Lelau, didapat sebuah dokumen yang menjelaskan bahwa sebenarnya otak dari segala aksi-aksi pembakaran bangsal-bangsal tembakau itu adalah Datuk Badiuzzaman. Oleh karena itu, dalam sebuah pertemuan pada 1894, yang digagas untuk mencari jalan keluar atas kemelut yang terjadi di Deli, Assisten Residen Siak mengusulkan agar Datuk Badiuzzaman segera disuruh ke
Kemudian melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 3 Tanggal 20 Januari 1895 mereka dihukum buang seumur hidup. Datuk Badiuzzaman dibuang ke Cianjur dan Datuk Alang Mohd. Bahar dibuang ke Banyumas. Mendengar kabar itu, rakyat Sunggal berkabung selama 3 bulan sebagai tanda hormat dan setia pada pemimpin mereka. Ketika sholat Jumat, selama tiga bulan berturut-turut mereka mendoakan para pejuang rakyat Sunggal. Sama seperti yang dialami pamannya, Datuk Kecil dan Datuk Mohammad Jalil, Datuk Badiuzzaman juga tidak pernah lagi melihat anak-istri dan keluarganya sampai meninggal di pembuangan. Datuk Badiuzzaman dikuburkan di Cianjur dan makamnya dikenali masyarakat setempat dengan nama “Makam Istana Deli”. Datuk Alang Mohd. Bahar dikebumikan di Desa Lampui, Kecamatan Jombang, Banyumas, Jawa Tengah. Dengan demikian, hampir 2/3 hidupnya diabdikan untuk menentang penjajahan Belanda di Deli/Sumatera Timur. Ia tetap menggelorakan semangat anti Belanda dan anti Deli di kalangan rakyatnya dan konsisten tanpa mau menyerah pada tekanan Belanda.
Sunggal Sepeninggal Datuk Badiuzzaman
Pembuangan Datuk Badiuzzaman ke Pulau Jawa menyebabkan takhta Sunggal kosong. Oleh karena Putra Datuk Badiuzzaman, Datuk Muhammad Munai, masih kecil maka berdasarkan musyawarah keluarga ditunjuklah Datuk Muhammad Alif, pamannya, sebagai pemangku kerajaan Sunggal selama enam tahun dari 1895-1901. Datuk Muhammad Munai diangkat menjadi Raja Sunggal tahun 1901. Ia mempunyai 6 orang anak, yakni Datuk Muhammad Jalib, Datuk Muhammad Hasan, Datuk Muhammad Hitam, Datuk Muhammad Bagus, Datuk Muhammad Nur, dan Datuk Hermasnyah. Datuk Mohd. Hasan mempunyai 5 orang anak, yaitu Aja Nazariun, Datuk Saifi Ichsan, Aja Sachila, Aja Herlila, dan Aja Masitah. Datuk Muhammad Hitam mempunyai lima orang anak, yaitu Aja Miliunnah, Datuk Ahmad Neil, Aja Mahnon, Aja Nurulaini, dan Datuk Agustin. Datuk Mod. Bagus mempunyai sembilan orang anak, yaitu Datuk Zulkarnaen, Datuk Harmaen, Aja Arfah, Datuk Muaz, Datuk Hundri, Aja Chalizah, Aja Chairiah, Datuk Musa, dan Aja Elfira. Datuk Mohd. Nur mempunyai tujuh orang anak, yaitu Datuk Alisyah, Datuk Arifin, Aja Nurlian, Datuk Helmi, Datuk Aswadi, Datuk Alman, dan Aja Mahyun. Datuk Hermasyah mempunyai empat orang anak, yaitu Aja Mariamah, Aja Syafinat, Datuk Nazeli, dan Datuk Amansyah. Beliau memerintah selama 7 tahun sampai 1907. Takhta Sunggal kemudian digantikan oleh Datuk Muhammad Jalib, namun mengingat ia masih kecil maka Sunggal kembali dipangku oleh Datuk Yusuf. Datuk Yusuf memerintah Sunggal sampai tahun 1914.
Datuk Muhammad Jalib naik takhta tahun 1914 dan diberi gelar Datuk Johan Sri Indra dan memegang pemerintahan sampai tahun 1923. Atas kehendaknya sendiri ia kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, Datuk Muhammad Hasan, yang bergelar Datuk Sri Indra Pahlawan. Datuk Muhammad Hasan memegang pemerintahan sampai tahun 1945. Sejalan dengan masa revolusi kemerdekaan maka di Sumatera Timur bergeloralah semangat revolusioner yang akhirnya menimbulkan peristiwa Maret 1946, sebuah peristiwa penghancuran terhadap kekuasaan tradisional. Kekerasan bermula dari Sunggal, ketika beberapa unit laskar rakyat (Barisan Harimau Liar) menyerang markas Persatuan Anak Deli Islam (PADI)/Pasukan V di dekat rumah Datuk Hitam. Datuk Hitam dan sejumlah tokoh bangsawan melarikan diri ke
| |
Keteladanan Dt. Badiuzzaman
|
Sebagai sosok tokoh masyarakat, Datuk Budiuzzaman yang berjiwa besar dan rela berkorban memberi keteladanan. Nilai-nilai keteladanan yang dipegang olehnya adalah sebagai berikut:
1. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, seperti keadilan, keselamatan, dan kesejahteraan rakyat Sunggal;
2. Selalu membina persatuan dan kesatuan lintas etnik, yakni Karo, Melayu, Aceh, Gayo, dan lainnya dalam upaya mempertahankan wilayah Sunggal dari penjajahan Belanda;
3. Menerapkan prinsip musyawarah dan mufakat dalam mencapai suatu tujuan;
4. Konsisten dalam perjuangan untuk mencapai kebebasan;
5. Menjaga persatuan “bangsa” atau kaumnya;
6. Pantang menyerah dalam perjuangan;
7. Rela mengorbankan hidupnya dalam perjuangan membela kebebasan dan kesejahteraan rakyat dan masyarakatnya hingga mengalami pembuangan dan terpisah dari keluarganya sampai wafatnya.
|
Diposting 17th March 2011 oleh Jefta P Munthe
Subscribe to:
Posts (Atom)